3 Oknum Hakim PN Gianyar Dilaporkan — Tiga majelis Hakim pengadilan negeri Gianyar, dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim. Laporan tersebut ditujukan kepada komisi yudisial RI dan badan pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA). Laporan itu dilayangkan tertanggal 10 September 2021, dalam perkara Nomor ; 62/Pid.B/2021/PN.Gin. dengan terdakwa warga negara asing, bernama Jhon Winkel.
Dimana pria asal Belanda ini dijerat kasus penggelapan dan divonis hukuman oleh Majelis Hakim PN Gianyar dengan hukuman pidana penjara selama 16 bulan (1 tahun 4 bulan). Dilaporkannya majelis hakim yang menangani ‘Bule Londo’ lantaran pihaknya tidak mendapatkan adanya hak atau kesempatan di mata hukum untuk pengajuan bukti-bukti pembenaran sebagai pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman.
I Wayan ‘Gendo’ Suardana,SH (Gendo Low Office) sebagai kuasa hukum terdakwa, melaporkan ketiga hakim ini atas dasar dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada perkara yang dihadapi kliennya. Dikatakan Gendo bahwa kliennya telah diputus, pada 16 Agustus 2021 lalu.
Dimana ketiga Majelis Hakim yang dilaporkannya berinisial Putu GH selaku ketua majelis hakim dan dua hakim anggota yaitu EHP dan Nyoman AH.
“Kami menemukan tindakan majelis hakim yang tidak adil dan bijaksana. Seolah-olah ini pengadilan sesat,” ujar Wayan Gendo Suardana saat gelar konferensi pers di Denpasar, Senin (13/9/2021).
Dijelaskannya bahwa laporan dilakukan mengingat tindakan hakim saat persidangan bertindak tidak adil, bertindak tidak arif dan bijaksana, bertindak tidak profesional saat memeriksa, dalam mengadili dan memutus perkara Kliennya.
Dibeberkan Gendo, bahwa kliennya atau terdakwa bernama John Winkel merupakan seorang Direktur Utama sekaligus pemegang saham (pendiri) di perusahaan PT. Mitra Prodin. Ia juga pendiri perusahaan bergerak di bidang kertas rokok. Namun kini ia dilaporkan oleh komisaris di perusahaan tersebut, yakni Antony Rhodes.
“Kasus ini sejatinya terkait hutang piutang (kasbon) yang terjadi tahun 2016-2019. Namun, kemudian berujung pada pelaporan di kepolisian hingga di meja hijaukan sejak awal tahun 2021 di PN Gianyar,” kata Gendo.
Pengamatannya, mulai dari proses sidang hingga putusan pada 16 Agustus 2021 lalu banyak hal yang mencederai asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terutama dalam proses pembuktian; pemeriksaan bukti-bukti dan saksi. Pertama, terkait status kewarganegaraan pelapor. Dimana, pihak GLO mendapatkan dokumen bahwa pelapor diduga berkewarganegaraan ganda.
“Hakim saat itu menyatakan hal itu tidak relevan, kami keberatan, tapi ternyata dalam putusan keberatan kami tidak dimuat,” ungkapnya. Ketua Majelis Hakim menganggap hal itu tidak relevan dengan kasus. Padahal dengan tegas pihaknya telah minta dicatat dalam nota keberatan. Karena identitas saksi seharusnya diperiksa tapi nyatanya tidak ditulis soal keberatannya.
Kedua, lanjut Gendo, Hakim kembali bersikap tidak adil, tidak arif dan bijaksana dengan melarang Gendo menunjukan bukti-bukti surat saat memeriksa saksi-saksi termasuk saksi korban.
Ketua Majelis Hakim melarang Penasehat Hukum saat akan menunjukan bukti-bukti penting, yang menjadi bukti kunci membebaskan Terdakwa.
Namun Ketua Majelis hakim malah melarangnya. Bukti penting tersebut seperti percakapan berupa email antara saksi korban dan terdakwa yang menjelaskan bahwa Terdakwa diminta perusahaan mengembalikan hutang sebesar 2,6 miliar rupiah dan sudah disetujui saksi korban, termasuk juga banyak bukti lainnya yang terkait kasus yang dituduhkan ke klien Gendo.
“Saat mau menunjukkan bukti percakapan, hakim bilang tidak boleh dan diminta untuk menunjukkan kepada saksi yang meringankan. Percakapan khusus di email maupun whatsapp hanya diketahui berdua antara Terdakwa dengan Saksi Korban. Hal ini tentu melemahkan posisi terdakwa. Kami merasa Majelis Hakim sudah menghambat penggalian kebenaran materiil dalam persidangan,” sentilnya.
Demikian juga saat Saksi memberatkan yakni; Finacial Controller diperiksa di depan sidang, yang notabene merekapitulasi utang terdakwa sesuai catatan keuangan perusahaan. Dimana saksi adalah orang yang informasi terkait jumlah hutang yang harus dibayar oleh terdakwa, yakni: 2,6 Miliar rupiah.
Di depan sidang, Saksi menyatakan tidak ingat percakapan di email tersebut. Saat itu, pihaknya mau crosscheck dengan bukti surat dengan menunjukan bukti percakapan email. Namun lagi lagi Ketua Majelis Hakim melarang dan menyuruh Gendo menanyakan kepada saksi yang didatangkan pada agenda pemeriksaan saksi meringankan.
“Alasan Ketua Majelis Hakim tidak masuk akal, bagaimana mungkin percakapan email antara Terdakwa dengan Saksi Financial Controller yang bersifat private, disuruh menanyakan kepada Saksi lain yang faktanya tidak tahu-menahu mengenai percakapan email itu? Ini namanya Ketua Majelis Hakim semena-mena,” tegas Gendo.
Tindakan Ketua Majelis Hakim ini, menurutnya adalah tindakan yang dilakukan secara sadar untuk menghambat penggalian kebenaran materil dalam persidangan.
“Selain itu tindakan tersebut juga menunjukkan Majelis Hakim telah melanggar asas Fair Trial serta Asas Audi At Alteram Partem,” imbuhnya.
Ketiga, yang paling fatal adalah saat di putusan tercatat bahwa ketiga hakim sudah menggelar rapat musyawarah sebelum proses beracara dalam persidangan selesai. Gendo, menjelaskan kronologisnya bahwa pada 29 Juli 2021 Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan.
Kemudian, pada tanggal 5 Agustus 2021, Gendo dkk membacakan pledoi / pembelaan Terdakwa sebagai tanggapan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Setelah pledoi selesai, Majelis Hakim mengagendakan pada tanggal 9 Agustus 2021 dilanjutkan dengan agenda pembacaan replik dari Jaksa Penuntut dan tiga hari kemudian ada duplik dari Penasehat hukum Terdakwa.
Parahnya, dalam putusannya, Majelis Hakim ternyata telah memutus Terdakwa bersalah dengan menggelar musyawarah terakhir pada 6 Agustus 2021, atau sehari setelah pledoi atas tuntutan jaksa dibacakan dalam persidangan.
“Artinya Majelis Hakim telah melakukan musyawarah sebelum Replik JPU dan Duplik Penasehat Hukum dibacakan. Ini kan artinya hakim sudah melakukan musyawarah untuk menghukum terdakwa sebelum proses replik dan duplik itu atau sebelum pemeriksaan selesai. Ini parah,” ungkapnya.
Bagi Gendo, putusan hakim ini merupakan akibat dari tindakan hakim yang diduga melanggar asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terlihat dari pertimbangan hakim dalam putusannya tersebut justru menggunakan kelemahan akibat bukti yang tidak boleh disampaikan oleh Penasehat hukum.
“Kami menunjukkan alat bukti, malah tidak diberikan. Bila diberikan kesempatan oleh hakim, saya pikir hakim tidak akan memberikan putusan bersalah ke klien kami. Kami melihat ada tindakan yang tidak adil untuk membela klien kami,” tegasnya.
Selain itu, ada hal yang aneh dalam putusan Majelis Hakim. Majelis Hakim di salah satu putusannya mengakui bahwa hasil audit dari Akuntan Publik; Ida Ayu Budhananda yang dijadikan bukti utama menuduh Terdakwa ternyata cacat dan invalid. Awalnya hasil auditnya menyatakan Terdakwa merugikan perusahaan sejumlah 3.1 miliar rupiah.
Namun setelah diperiksa di depan sidang saat pemeriksaan akuntan publik, Saksi Ida Ayu Budhananda tidak bisa mengelak bahwa hasil auditnya invalid.
Ketidakbenaran hasil audit diakui oleh Saksi saat dicrosscheck di depan sidang. Ada salah penjumlahan, double pencatatan, salah klasifikasi; banyak pengeluaran untuk perusahaan dimasukan sebagai pengeluaran pribadi terdakwa.
Hal ini telah diakui pula oleh Kasir dari Perusahaan bahwa terjadi banyak kecacataan, tidak valid dalam laporan audit.
Anehnya dalam pertimbangan Hukum majelis Hakim mengakui hasil audit itu cacat tetapi tetap menggunakan audit itu sebagai alat bukti dan menganggap kecacatan itu hanya tentang pengurangan jumlah kerugian.
“Bagaimana audit yang diakui cacat tetap digunakan sebagai alat bukti dan hanya digunakan sebagai pertimbangan merugikan? Majelis Hakim bersikukuh kerugian 3,1 Miliar rupiah padahal hasil audit itu sudah terbukti salah dan cacat sehingga tidak tepat menyatakan perusahaan merugi sejumlah demikian. Logika apa yag digunakan Majelis Hakim sebagai ratio decidendi dalam putusannya?” Ucap Gendo.
Selain melaporkan ketiga hakim ini, ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Laporan itu juga ditembuskan ke Komnas HAM RI, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Dijelaskannya bahwa laporan dilakukan mengingat tindakan hakim saat persidangan bertindak tidak adil, bertindak tidak arif dan bijaksana, bertindak tidak profesional saat memeriksa, dalam mengadili dan memutus perkara Kliennya.
Dibeberkan Gendo, bahwa kliennya atau terdakwa bernama John Winkel merupakan seorang Direktur Utama sekaligus pemegang saham (pendiri) di perusahaan PT. Mitra Prodin. Ia juga pendiri perusahaan bergerak di bidang kertas rokok. Namun kini ia dilaporkan oleh komisaris di perusahaan tersebut, yakni Antony Rhodes.
“Kasus ini sejatinya terkait hutang piutang (kasbon) yang terjadi tahun 2016-2019. Namun, kemudian berujung pada pelaporan di kepolisian hingga di meja hijaukan sejak awal tahun 2021 di PN Gianyar,” kata Gendo.
Pengamatannya, mulai dari proses sidang hingga putusan pada 16 Agustus 2021 lalu banyak hal yang mencederai asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terutama dalam proses pembuktian; pemeriksaan bukti-bukti dan saksi. Pertama, terkait status kewarganegaraan pelapor. Dimana, pihak GLO mendapatkan dokumen bahwa pelapor diduga berkewarganegaraan ganda.
“Hakim saat itu menyatakan hal itu tidak relevan, kami keberatan, tapi ternyata dalam putusan keberatan kami tidak dimuat,” ungkapnya. Ketua Majelis Hakim menganggap hal itu tidak relevan dengan kasus. Padahal dengan tegas pihaknya telah minta dicatat dalam nota keberatan. Karena identitas saksi seharusnya diperiksa tapi nyatanya tidak ditulis soal keberatannya.
Kedua, lanjut Gendo, Hakim kembali bersikap tidak adil, tidak arif dan bijaksana dengan melarang Gendo menunjukan bukti-bukti surat saat memeriksa saksi-saksi termasuk saksi korban.
Ketua Majelis Hakim melarang Penasehat Hukum saat akan menunjukan bukti-bukti penting, yang menjadi bukti kunci membebaskan Terdakwa.
Namun Ketua Majelis hakim malah melarangnya. Bukti penting tersebut seperti percakapan berupa email antara saksi korban dan terdakwa yang menjelaskan bahwa Terdakwa diminta perusahaan mengembalikan hutang sebesar 2,6 miliar rupiah dan sudah disetujui saksi korban, termasuk juga banyak bukti lainnya yang terkait kasus yang dituduhkan ke klien Gendo.
“Saat mau menunjukkan bukti percakapan, hakim bilang tidak boleh dan diminta untuk menunjukkan kepada saksi yang meringankan. Percakapan khusus di email maupun whatsapp hanya diketahui berdua antara Terdakwa dengan Saksi Korban. Hal ini tentu melemahkan posisi terdakwa. Kami merasa Majelis Hakim sudah menghambat penggalian kebenaran materiil dalam persidangan,” sentilnya.
Demikian juga saat Saksi memberatkan yakni; Finacial Controller diperiksa di depan sidang, yang notabene merekapitulasi utang terdakwa sesuai catatan keuangan perusahaan. Dimana saksi adalah orang yang informasi terkait jumlah hutang yang harus dibayar oleh terdakwa, yakni: 2,6 Miliar rupiah.
Di depan sidang, Saksi menyatakan tidak ingat percakapan di email tersebut. Saat itu, pihaknya mau crosscheck dengan bukti surat dengan menunjukan bukti percakapan email. Namun lagi lagi Ketua Majelis Hakim melarang dan menyuruh Gendo menanyakan kepada saksi yang didatangkan pada agenda pemeriksaan saksi meringankan.
“Alasan Ketua Majelis Hakim tidak masuk akal, bagaimana mungkin percakapan email antara Terdakwa dengan Saksi Financial Controller yang bersifat private, disuruh menanyakan kepada Saksi lain yang faktanya tidak tahu-menahu mengenai percakapan email itu? Ini namanya Ketua Majelis Hakim semena-mena,” tegas Gendo.
Tindakan Ketua Majelis Hakim ini, menurutnya adalah tindakan yang dilakukan secara sadar untuk menghambat penggalian kebenaran materil dalam persidangan.
“Selain itu tindakan tersebut juga menunjukkan Majelis Hakim telah melanggar asas Fair Trial serta Asas Audi At Alteram Partem,” imbuhnya.
Ketiga, yang paling fatal adalah saat di putusan tercatat bahwa ketiga hakim sudah menggelar rapat musyawarah sebelum proses beracara dalam persidangan selesai. Gendo, menjelaskan kronologisnya bahwa pada 29 Juli 2021 Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan.
Kemudian, pada tanggal 5 Agustus 2021, Gendo dkk membacakan pledoi / pembelaan Terdakwa sebagai tanggapan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Setelah pledoi selesai, Majelis Hakim mengagendakan pada tanggal 9 Agustus 2021 dilanjutkan dengan agenda pembacaan replik dari Jaksa Penuntut dan tiga hari kemudian ada duplik dari Penasehat hukum Terdakwa.
Parahnya, dalam putusannya, Majelis Hakim ternyata telah memutus Terdakwa bersalah dengan menggelar musyawarah terakhir pada 6 Agustus 2021, atau sehari setelah pledoi atas tuntutan jaksa dibacakan dalam persidangan.
“Artinya Majelis Hakim telah melakukan musyawarah sebelum Replik JPU dan Duplik Penasehat Hukum dibacakan. Ini kan artinya hakim sudah melakukan musyawarah untuk menghukum terdakwa sebelum proses replik dan duplik itu atau sebelum pemeriksaan selesai. Ini parah,” ungkapnya.
Bagi Gendo, putusan hakim ini merupakan akibat dari tindakan hakim yang diduga melanggar asas-asas hukum dan ketentuan hukum acara pidana. Terlihat dari pertimbangan hakim dalam putusannya tersebut justru menggunakan kelemahan akibat bukti yang tidak boleh disampaikan oleh Penasehat hukum.
“Kami menunjukkan alat bukti, malah tidak diberikan. Bila diberikan kesempatan oleh hakim, saya pikir hakim tidak akan memberikan putusan bersalah ke klien kami. Kami melihat ada tindakan yang tidak adil untuk membela klien kami,” tegasnya.
Selain itu, ada hal yang aneh dalam putusan Majelis Hakim. Majelis Hakim di salah satu putusannya mengakui bahwa hasil audit dari Akuntan Publik; Ida Ayu Budhananda yang dijadikan bukti utama menuduh Terdakwa ternyata cacat dan invalid. Awalnya hasil auditnya menyatakan Terdakwa merugikan perusahaan sejumlah 3.1 miliar rupiah.
Namun setelah diperiksa di depan sidang saat pemeriksaan akuntan publik, Saksi Ida Ayu Budhananda tidak bisa mengelak bahwa hasil auditnya invalid.
Ketidakbenaran hasil audit diakui oleh Saksi saat dicrosscheck di depan sidang. Ada salah penjumlahan, double pencatatan, salah klasifikasi; banyak pengeluaran untuk perusahaan dimasukan sebagai pengeluaran pribadi terdakwa.
Hal ini telah diakui pula oleh Kasir dari Perusahaan bahwa terjadi banyak kecacataan, tidak valid dalam laporan audit.
Anehnya dalam pertimbangan Hukum majelis Hakim mengakui hasil audit itu cacat tetapi tetap menggunakan audit itu sebagai alat bukti dan menganggap kecacatan itu hanya tentang pengurangan jumlah kerugian.
“Bagaimana audit yang diakui cacat tetap digunakan sebagai alat bukti dan hanya digunakan sebagai pertimbangan merugikan? Majelis Hakim bersikukuh kerugian 3,1 Miliar rupiah padahal hasil audit itu sudah terbukti salah dan cacat sehingga tidak tepat menyatakan perusahaan merugi sejumlah demikian. Logika apa yag digunakan Majelis Hakim sebagai ratio decidendi dalam putusannya?” Ucap Gendo.
Selain melaporkan ketiga hakim ini, ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Laporan itu juga ditembuskan ke Komnas HAM RI, Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Sumber : https://www.news.beritabali.com/read/2019/07/08/202109130038/3-oknum-hakim-pn-gianyar-dilaporkan?page=all#