Kasus Sugiyati Cacat Prosedur, Kuasa Hukum Minta Kliennya Dibebaskan

Bali.pikiran.rakyat.com

Sidang kasus dugaan pembunuhan dengan korban I Nyoman Widhiyasa yang ditemukan tewas pada 21 Juli 2024 memasuki agenda pledoi. Di mana, terdakwa Sugiyati (37), melalui kuasa hukumnya menegaskan bahwa korban tewas karena bunuh diri. Hal ini diperkuat keterangan ahli berikut saksi dan alat bukti yang muncul di persidangan. Sehingga, bisa dikatakan kasus ini cacat prosedur dan mereka meminta Sugiyati dibebaskan. Pada pledoi yang dibacakan Rabu (9/4) dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar dan dipimpin ketua majelis hakim I Wayan Yasa. Tim penasihat hukum terdakwa yang terdiri dari I Wayan Adi Sumiarta, S.H., M.Kn, I Made Juli Untung Pratama, S.H., M.Kn, dan I Kadek Ari Pebriarta, S.H., dari Gendo Law Office menjelaskan bahwa, peristiwa bermula pada dini hari tanggal 21 Juli 2024, di sebuah kos-kosan yang terletak di Jalan Pulau Galang, Denpasar.

Terdakwa, yang juga merupakan kekasih korban, terlibat cekcok hebat dengan Widhiyasa. Setelah adu mulut tersebut, korban masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Beberapa saat kemudian, ketika pintu dibuka, korban ditemukan dalam keadaan tergantung di atas ventilasi kamar, menggunakan gorden yang terdapat tasbih dan kabel obat nyamuk.

Setelah menemukan korban, terdakwa segera meminta pertolongan dari tetangga kos. Korban pun segera dibawa ke Rumah Sakit Surya Husada Denpasar, namun sayangnya, saat tiba di rumah sakit, korban dinyatakan meninggal dunia. Dua hari setelah kejadian, tepatnya pada tanggal 23 Juli 2024, penyidik akhirnya menetapkan Terdakwa Sugiyati sebagai tersangka dengan tuduhan pembunuhan berencana (Pasal 338 KUHP) atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP). Tim penasihat hukum terdakwa memaparkan bahwa penetapan terdakwa sebagai tersangka oleh penyidik terkesan dipaksakan dan dilakukan tanpa bukti yang cukup. Mereka juga mempertanyakan dasar hukum penetapan tersangka yang dilakukan pada 23 Juli 2024, padahal pada tanggal tersebut penyidik baru melakukan otopsi terhadap korban. Penasihat hukum juga mempertanyakan ketiadaan bukti yang mendukung klaim bahwa terdakwa membekap korban hingga tewas.

Menurut tim penasihat hukum, dari hasil pemeriksaan terhadap saksi-saksi, ahli, dan bukti-bukti lainnya, ditemukan fakta bahwa luka-luka yang ada pada korban tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pembekapan, melainkan lebih mengarah pada ciri-ciri gantung diri. Mereka juga menyoroti hasil tes toksikologi yang menunjukkan bahwa meskipun korban mengonsumsi alkohol, kadar alkohol dalam tubuhnya tidak cukup mematikan untuk menyebabkan kelemahan yang dapat menghambat korban untuk melawan jika terjadi pembekapan.

Dalam pleidoi tersebut, I Wayan Adi Sumiarta, salah satu penasihat hukum terdakwa, menegaskan bahwa barang bukti berupa bantal jantung berwarna biru yang disebut-sebut digunakan untuk membekap korban tidak dapat dibuktikan relevansi penggunaannya. Hasil pemeriksaan DNA mengungkapkan bahwa tidak ada jejak darah manusia atau air liur korban di bantal tersebut. Selain itu, menurut keterangan ahli forensik, korban sempat melawan saat pembekapan, yang seharusnya meninggalkan tanda-tanda air liur, namun hal itu tidak ditemukan. Adi Sumiarta juga mengkritik kesalahan substansial dalam pembuktian dari pihak Penuntut Umum. Dalam tuntutannya, Penuntut Umum mengutip yurisprudensi dari Hoge Raad tanggal 23 Juli 1937 mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, namun mengabaikan fakta bahwa pembekapan menggunakan bantal tidak memenuhi kriteria penggunaan alat seperti senjata tajam atau senjata api. Menurut penasihat hukum, hal ini menunjukkan ketidakcocokan antara tuduhan yang disampaikan Penuntut Umum dengan fakta-fakta yang ada di persidangan. Lebih lanjut, Adi Sumiarta menyoroti adanya kontradiksi dalam argumen Penuntut Umum, yang menyatakan bahwa korban tidak bisa melawan, sementara pada saat yang sama, Penuntut Umum mengklaim bahwa korban melakukan perlawanan. Kontradiksi ini, menurutnya, menjadi bukti penting bahwa tuntutan Penuntut Umum tidak memiliki dasar yang kuat.

Salah satu kekurangan besar dalam berkas perkara, menurut tim penasihat hukum, adalah ketiadaan Surat Keterangan Kematian dan Surat Patologi Anatomi dalam hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum Pusat Prof. Dr. I.G.N.G. Ngoerah. Hal ini dianggap sebagai cacat hukum sejak awal proses penyidikan. Tim penasihat hukum pun menekankan bahwa perkara ini telah cacat prosedur sejak penyidikan awal. Menanggapi semua bukti yang ada, tim penasihat hukum terdakwa meminta agar majelis hakim memberikan putusan yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Penuntut Umum. Mereka mengajukan permohonan pembebasan terdakwa dengan alasan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung dakwaan pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Dalam pleidoinya, mereka memohon agar terdakwa dibebaskan berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidaknya dilepaskan dari segala tuntutan hukum berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.*

Sumber: https://bali.pikiran-rakyat.com/bali/pr-3759225780/kasus-sugiyati-cacat-prosedur-kuasa-hukum-minta-kliennya-dibebaskan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram
Email
Scroll to Top